Jogjakarta, Kota Nostalgis?

OLEH FEBRIAN HASIBUAN*
dimuat di Majalah Mata Jendela Vol. XIV No. 24 tahun 2019

 

Kehadiran novel Mata Air, Air Mata Kota (2019) karya G. Budi Subanar cukup berarti buat orang yang awam tentang Jogjakarta, seperti saya yang tumbuh dan besar jauh dari luar teritori. Saya juga bukan seorang sejarawan yang bergumul dengan arsip-arsip masa lalu, serta tidak punya pemahaman yang baik dan fasih tentang kota ini. Sungguh, semua itu jauh. Kecuali pengalaman hidup karena kepentingan studi, dan sesekali bertamasya keliling kota[1]. Betapapun demikian, novel ini menambah daftar bacaan mengenai biografi kota Jogjakarta.

Mata Air, Air Mata Kota menjadi media mendekati mengenali Jogjakarta tempo dulu secara kreatif dan menyenangkan: cerita. Cerita tentang Jogjakarta dilihat melalui pengalaman hidup Pak dan Mbok Suro dan ketiga anaknya, yaitu Bagus, Gendhuk, dan Rio, dalam melakoni getir manisnya kehidupan. Kisah keluarga Suro mem(di) bingkai dari masa transisi, masa perubahan sosial besarbesaran, seperti terkonfigurasi pada babnya: “Jogjakarta 1970-an” dan Jogjakarta 1980-an”. Kedua bagian tersebut berjalan linier membingkai sejarah Jogjakarta: “Makanya, saya undang kalian ke sini […] Sinau, belajar nyawang urip. Belajar sejarah” (Subanar, 2019: 8), dan membuat hukum kausalitas sendiri, meski tidak selalu presisi dan proporsional terkait narasi sejarah kebanyakan: “cuma” novel. Setelah proses pemaparan novel-sejarah Jogjakarta, saya diantar dan dibawa masuk mendengarkan denyut kota dari beberapa tokoh. Masing-masing tokoh memaknai Jogjakarta berbeda satu sama lain, tidak jarang mengundang tanya, intrik, pertentangan, dan emosi dalam berbagai penilaiannya. Singkatnya, tidak beraspal mulus seperti imajinasi kita saat membayangkan sketsa Jogjakarta “tempo doeloe”, bahkan bisa jadi sebaliknya. Melalui mereka, identifikasi hubungan kota dan masyarakat (dan saya) terbaca dan terefleksikan.

 

Gejolak Jogja Tempo Dulu

Sekilas, Mata Air, Air Mata Kota seperti navigator atau tour guide, membimbing kita menerawang panorama Jogja tempo dulu. Sodoran arsip kota yang diuraikan secara kental—kadang terkesan seperti laporan etnografi atau mungkin sejarah alternatif kota— menjadi salah satu kekuatan tersendiri. Dari tokoh Pak Suro, Lanang, dan narator (aku-novel), saya hendak dibimbing dan diajak jalan-jalan melihat arsitektur kota, melewati ruas-ruas jalan Nol Kilometer-GondomananPekuncen-Patangpuluhan-Pasar Gedhe, gang-gang desa di luar tembok keraton, deras alir Sungai Code, patung taman, juru taman, buruh batik rumahan, dan para bajingan (penarik gerobak), dst., yang menghidupi kota Jogjakarta.

Rumah Pak Suro terlihat nyempil, berada paling sudut di antara deretan gedung-gedung, dinaungi pohon waru besar dan terlihat kontras di antara bangunan-bangunan kokoh. Rumahnya itu hanya terbuat dari kayu, terselip di antara perempatan besar Jalan Senopati dan Jalan Gondomanan. […] Sepotong tanah itu wilayah mereka. Sebelum masa Republik, tanah itu merdeka dari kekuasaan Kompeni Belanda karena menjadi pembatas antara kompleks militer di sekitar tangsi Benteng Vredeburg dan permukiman masyarakat sipil Belanda di sekitar Loji Kecil […]

“Anak-anak saling berebut perhatian, mana bunga yang lebih muram, antara kenanga (Cananga odorata) atau melati (Jasminum sambac) […] Melati tumbuh menjalar, maka diberi tiang dan tempat menjalar. Sedang kenanga yang dan bunganya hijau muda didekatkan dengan pohon kol banda (Pisonia alba) yang warna daunnya hijau muda. Indah kan jadinya!” (Subanar, 2019: 10-13).

Di titik tertentu, alih-alih mengambil efek memenuhi perasaan nostalgis, retorika narator dan Pak Suro terkesan kontradiktif dan berlebihan: kepintar-an (terlalu pintar) menamai varian bunga dalam bahasa sains (latin). Terlebih, melihat latar belakang Pak Suro (kelas bawah), batas pengetahuan (pengetahuan lokal), dan konteks zaman (akses terhadap pengetahuan ilmiah pada tahun itu terbatas pada kalangan priyayi dan elit). Di samping itu, gambaran harmonis, guyub, dan tenteram cukup stereotipikal dalam representasi kota atau desa pada tahun 70-an. Kesan itu dapat kita rasakan dari struktur Ronggeng Dukuh Paruk[2], ketika mengeksplorasi tema desa Paruk dan isu komunisme: aman-tenteram dan berujung bencana. Meski premis awalnya sama, Subanar beranjak masuki konflik perkotaan di Jogjakarta. Kendati demikian, dengan mengambil setting Jogjakarta tempo dulu, kisah masyarakat luar Keraton diurai lebih lanjut. Penyejajaran setting dan tokoh mensyaratkan hubungan personifikasi keluarga dan kota. Citra kota Jogjakarta harmonis-nostalgis disejajarkan dengan keluarga Suro: gairah hidup Pak Suro melakoni dharma juru taman, kebahagiaan Mbok Suro membatik sambil momong kedua anaknya (Gendhuk dan Rio), kegirangan Bagus menjelajahi lingkungan sekitar. Semua terasa harmonis meski secara ekonomis rentan.

Keharmonisan keluarga Suro tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Masyarakat luar tembok Keraton sekejap berubah tintrim akibat geger ’65. Di luar dugaan, rantai produksi batik Mbok Suro lesu, masyarakat ngampet bicara, hanya ada bisik-bisik tetangga, sebagian tetangga hilang diciduk sosok tak dikenal, mata saling menaruh curiga, kebiasaan Bagus jelajah kampung terhenti, adiknya mendapat pengawasan ketat, mayat-mayat tersangkut di gejlik (pintu air). Situasi tidak menentu. Kerumitan konflik (pertentang elit politik) dan perubahan di luar sana tidak dipahami, dan cara protes tidak biasa bagi mereka. Beruntung, keluarga Suro selamat, berbekal ilmu titen, mengamati-mencermati penuh berhati-hati pada masa tintrim.

Sejak tintrim berhenti, yang ditandai banjir lumpur merapi, wajah Jogjakarta perlahan berubah. Kisah harmonis kota tinggal cerita. Perubahan bertahan lebih lama dari sebelumnya. Pembangunan proyek pom bensin memaksa Pak dan Mbok Suro mengabdi sebagai petugas keamanan dan penjual nasi rames dan anak-anak terpaksa ikut membantu bekerja mencukupi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, televisi masuk dan mendongengi anak-anak, populasi kendaraan bermesin meningkat, gedung-gedung baru diproduksi, perbaikan jalan dilakukan, institusi pendidikan tumbuh, taman sebagai ruang publik tempat para bajingan berinteraksi dan tidak ketinggalan berita hilang, perilaku dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Pak Suro kembali niteni situasi: “zaman sekarang kok rasanya banyak yang berubah” (Subanar, 2019: 123).

Singkatnya, wajah Jogjakarta berganti menjadi “modern”. Pendidikan jadi perhatian banyak orang. Hal itu terlihat dari bagaimana ketiga anak Pak dan Mbok Suro memproyeksikan hidupnya: Bagus kuliah mengambil jurusan geologi, Gendhuk mendalami ilmu keguruan, dan Rio menjadi seorang perupa. Meski Pak Suro tidak mengerti ilmu yang didalami ketiga anaknya, ia tetap menerima:

“Jalan hidup bapakmu dari dulu seperti ini. Meneruskan pekerjaan simbahmu. Paklikmu pulang kampung ke menoreh, jadi tukang kayu. Kamu dan adimu juga beberapa kali prei, liburan ke sana biar ingat asal-usul. Hidup mereka ya tentrem dengan istri dan anaknya. Simbahmu di Imogiri dan keluarga besar di sana, sebagian juga bertani dan membatik. Malahan kamu sekarang wis lulus sekolah. Gendhuk di SMP juga kamu yang nggeret, mengajaknya dan ikut ngragati” (Subanar, 2019: 125-126).

Pergeseran dan perubahan tahap modernisasi ruang kota umumnya digambarkan bersifat oposisional, antara orang tua (kuno, kolot, dan antiperubahan) dan anak muda kota (melek pendidikan, “liberal”, dan modern). Secara mengejutkan, Pak Suro berusaha mengalir mengikuti arus dan memantapkan posisi, tidak paternalistik seperti dalam kebanyakan representasi “ayah-tradisi”. Sebut saja babeh dalam film Si Doel Anak Sekolahan yang konservatif, tidak boleh meninggalkan bahkan kehilangan kampung, yang merupakan sikap oposisi terhadap modernitas[3]. Menyikapi perubahan tersebut, Pak Suro cenderung terbuka, tidak otoritatif mengatur dan tidak antagonis.

Sikap mapakke awak atau menempatkan diri Pak Suro sebagai antisipasi perubahan kota merupakan salah satu resep menjalani kehidupan. Begitu pun ketika ia terusir dari kota Jogjakarta, lewat simbolisasi adegan gara-gara Dalang Ki Hadi Sugito: […] Ri pada-pada soyung, Mboke Rara/cepak cepaka tanjung, mbokerara/ana tanjung dening kembang, mboke rara (Subanar, 2018: 180). Ia tahu, hidup adalah permainan, dan cara menjalani dan menikmati hidup adalah tergantung dirinya menempatkan diri. Di akhir kisah, ia kembali ke kampung halamannya.

Demikianlah kisah Jogjakarta dan Pak Suro yang penuh gejolak, dinamis, saling menegasi, dan berseberangan. Dharma juru taman, tidak mengejar materi, lencana penghargaan, bahkan status sosial ternyata berseberangan dengan visi Jogjakarta, yang butuh pom bensin, jalan halus, produktivitas ekonomi, dan pencitraan kota.

 

Antara Menerima dan Menolak

Menarik dicermati betapa penulis mengamati detail perubahan kota Jogjakarta dan para tokoh. Selanjutnya, Pak Suro, Putri, dan Rio menjadi fokus bagian ini. Mereka adalah salah satu dari sekian tokoh yang menarik dalam memandang Jogja. Latar belakang, motivasi, pengalaman hidup, dan bersikap pada Jogjakarta selalu bersifat personal (dan mungkin kolektif). Lebih lanjut, saya hendak berbicara bahwa penerimaan dan penolakan adalah drama menegangkan.

Seperti dipaparkan di atas, semula Pak Suro diterima (masyarakat) dan menerima (menjadi masyarakat) sepenuhnya di kota Jogjakarta. Namun, di akhir cerita ia disingkirkan secara langsung oleh Dinas Pertanahan: “[…] dari keputusan pengadilan, akta dari notaris serta Surat Tanah berstatus HGB dengan nama pemilik baru.[…]” (Subanar, 2019: 175). Eksplisit, penyingkiran Pak Suro dari kota Jogjakarta, tidak lain adalah sistem regulasi: habisnya status kontrak tanah (rumah) yang masih HGB di bawah payung Sultan Ground (SG) dan Pakualaman Ground (PAG), dan pihak pemerintah menutup taman kota dan mendirikan pom bensin. Jika kita kaitkan dengan konteks nasional tahun-tahun tersebut, Orba sedang ketiban rezeki nomplok Oil Boom (sebagai anggota OPEC) dan menopang agenda Repelita. Dua alasan besar itu merujuk pada dua kata kunci: profesi usang dan (dihitung) nonpribumi.

Sementara itu, tokoh Putri, mahasiswa migran dari Kalimantan dan kekasih Bagus, dengan cukup kritis menilai Jogjakarta. Pengalaman hidup Puti di kota Jogjakarta tidak kalah rumit, kadang menolak dan menerima. Ia menaruh perhatian besar pada sistem pengelolaan ekonomi-budaya pembatik yang dikerjakan bukan buat modal panjat sosial, melainkan menjadi modal keterampilan untuk menopang hidup seperti Mbok Suro. Selain itu, dirinya juga tidak sepakat terhadap Jogjakarta, seperti diwakili logika berpikir Bagus ketika menceritakan kotanya:

“Putri tak mau berbantah. Cara Bagus bertutur masih terlalu pusat pada kekuasaan yang dibangun oleh penguasa, bukan berlawanan yang dibangun dari bawah. Padahal Bagus sendiri seorang pelaku berjuang dari bawah. Putri mengagumi dan mencintai Bagus karena perjuangannya.” (Subanar, 2019: 156).

Dari sudut lain, perantauannya ke Jogjakarta menciptakan kisah hidup tak terlupakan. Selain pengetahuan formal yang didapatkan dari perguruan tinggi, ia memperoleh wawasan tentang kesamaan pengalaman dan nasib ketika melihat pohon-pohon ditebang atas nama HPH atau sambutan hangat keluarga Suro, bahkan memperoleh tambatan hatinya.

Posisi lain diambil tokoh Rio. Meski porsi penceritaannya tidak begitu besar, dia menjadi salah tokoh menarik dalam kaitan penerimaan atas kota. Lahir dan tumbuh besar di masa transisi, ketika televisi berpadu padan dengan batik dan arsitektur kota Jogjakarta, tidak terlalu bertolak belakang dan kehidupan urban dan tidak bersifat antagonis. Sebaliknya, pertemuan masing-masing justru menjadi bekal referensi visual melukisnya. Lalu ia memutuskan bergabung di Kelompok PIPA, Kepribadian Apa, gerakan seni rupa yang sedang menjadi tren di kalangan anak muda saat itu. Aktivitas melukis menjadi alasan besar ia tetap tinggal di Jogjakarta dan sejauh itu kisahnya tidak ada pertentangan. Sosok ini agaknya diidealkan oleh penulis sesuai konteks zaman: “satu langkah membentuk masyarakat yang kritis” (Subanar, 2019: 173). Ya, barangkali seni lebih mudah diterima daripada juru taman atau bahkan kekuasaan (?).

 

***

Selesai membaca Mata Air, Air Mata Kota, (sekali lagi) saya memperoleh perspektif baru: betapa memaknai Jogjakarta tidak semudah membaca ensiklopedi, brosur wisata, dan bahkan ke Pasar Kangen. Di balik nostalgia tempo dulu, Jogjakarta sarat pertentanganpertentangan, air mata, sengketa batin, penyingkiran, dan darah yang dibiarkan tersimpan rapi dalam memori seseorang. Imaji nostalgis Jogjakarta tempo dulu, meminjam kata-kata Robinson, adalah “surga terakhir”[4] yang dilanggengkan dan dieksploitasi sebagai alat melapangkan kepentingan tertentu. Sayangnya, problem dalam pemandangan itu sampai hari ini tak kunjung ditemukan jalan keluarnya.

 

*Febrian Adinata Hasibuan pernah tinggal di Jogajakarta. Kini tinggal di Banjarnegara.

 

 

[1] Selain kebutuhan studi, mengenali Jogjakarta biasa dilakukan dengan belajar bahasa Jawa-Jogja, ngobrol di angkringan, plesir ke objek wisata, mengunjungi pasar kangen, hingga menghadiri agendaagenda seni

[2] Suasana ini juga ditemukan di novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, desa tentram dan eksotis, dan berujung kekacauan dan sengkarut politik elit, tepatnya ketika orang-orang yang disebut PKI datang mempropagandakan ideologi komunis di Dukuh Paruk. Kekacauan tidak hanya dirasakan masyarakat, tapi juga kekacauan hati Srintil. Eka Kurniawan, Salihara.

[3] Keluarga Si Doel digambarkan direpresentasikan dilema masyarakat perkotaan melalui gempuran kapitalisme, konstruksi identitas, dan marjinalisasi penduduk ‘Betawi Asli’ di tengah arus zaman. Budianta, Melani (2008). Representasi Kaum Pinggiran dan Kapitalisme. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

[4] Di balik kota Bali yang eksotis nan menawan tersimpan sejarah kelam tentang peperangan antar kerajaan, peran kolonial Belanda, pembantaian, dan kepentingan pariwisata. Namun, sederet peristiwa itu pernah muncul ke permukaan publik. Robinson, Geoffrey (2006). Sisi Gelap Pulau Dewata. Yogyakarta: Lkis

Artikel yang Direkomendasikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *